Artikel Terbaru


Posted by : Unknown Minggu, 06 Juli 2014

ANALISIS NAPZA
MORFIN


KELOMPOK 5 :

DARFIANI
DARJO LASABA
ATRI
EFA MUNIAR
VIVI JAYANTI
MUH.AHMAR ABYAD



AKADEMI ANALISIS KESEHATAN
SANDI KARSA
MAKASSAR
2014



KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnya lah maka penulis dapat menyelesaikan TUGAS berjudul “ANALISIS NAPZA MORFIN” ini dengan tepat waktu untuk memenuhi tugas dari MUIS PATTA selaku dosen mata kuliah TOXICOLOGI.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Tuhan memberkati makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi kita semua.




makassar, 13 juni 2014


Penulis




BAB I
PENDAHULUAN 
1. Latar Belakang
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 22 tahun 1997). Yang termasuk jenis narkotika adalah tanaman papaver, opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko), opium obat, morfina, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, dan damar ganja. Disamping itu, Garam-garam dan turunan-turunan dari morfina dan kokaina, serta campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan tersebut di atas juga termasuk narkotika.
Rangsang yang menimbulkan rasa nyeri ialah kerusakan pada jaringan, atau gangguan metabolism jaringan. Hal ini mengakibatkan perubahan pada konsentrasi local ion (penurunan pH harga jaringan, peningkatan konsentrasi ion kalium ekstrasel) maupun pembebasan senyawa mediator. Sebagai akibatnya, reseptor nyeri (nosiseptor) yang terdapat dikulit, di dalam jaringan yang lebih dalam letaknya (otot kerangka, jaringan ikat, selaput tulang) dan di organ viseral jeraon, terangsang. Tergantung pada letaknya, dibedakan antara nyeri, permukaan, nyeri yang dalam dan  nyeri viseral, yang secara kualitatif dialami dengan cara yang berbeda. Dari reseptor, nyeri dikondusikan sebagai impuls listrik yang bersusulan (potensial aksi) melalui urat saraf sensorik (urat saraf nyeri) ke sumsum tulang belakang dan akhirnya melalui otak tengah (telamus) ke sinusoid pusat posterior dari otak besar, di mana terjadi kesadaran akan nyeri.
Seperti yang ditulis di atas, narkotika jenis opium merupakan salah satu obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri. Kesadaran akan nyeri mungkin tetap ada atau berkurang, tetapi kemampuan untuk menafsirkan, menggabungkan, dan beraksi terhadap nyeri menurun karena adanya sedasi, eufori, dan penurunan keresahan dan penderitaan. Efek lain satu-satunya yang berguna terhadap SSP adalah penekanan batuk. Secara perifer, pengurangan gerak-dorong usus berguna untuk mengendalikan diare, jika tidak, terjadi sembelit sebagai efek samping umum. Diantara kumpulan reaksi yang merugikan, yang paling penting dalam membatasi kegunaannya adalah toleransi melalui sentral, ketergantungan, dan depresi pernapasan, yang menjadi penyebab kematian pada pemberian yang lewat-dosis. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan dijelaskan ruang lingkup salah satu jenis narkotika yaitu opium, terutama morfin sebagai agen aktif utama dalam opium.

  2. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dibahas pada makalah ini yaitu sebagai berikut sebagai berikut:
1. Zat aktif apakah yang terkandung dalam opium?
2. Bagaimana struktur dan sifat dari zat aktif tersebut?
3. Bagaimana aturan penggunaannya ?
4. Apa efek dari obat tersebut?
5. Bagaimana proses biotransformasi dari obat tersebut?



BAB II
PEMBAHASAN
  
Penggunaan obat yang tidak berdasarkan indikasi medis, tidak mengindahkan petunjuk penggunaan yang ada pada kemasan atau petunjuk dokter adalah termasuk penyalahgunaan obat-obatan. Dengan makin meningkatnya jenis obat yang tersedia dan beredar bebas, maka makin meningkat pula kemungkinan terjadinya penyalahgunaan obat. Morfin termasuk golongan narkotika yang merupakan salah satu jenis obat yang sering disalahgunakan (Sujudi, 1995). Struktur senyawa morfin seperti Gambar 1 berikut: (Lowry, 1979 )





Perdagangan gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) telah merambat kepada jutaan orang baik dinegara yang maju maupun sedang berkembang. Dampak negative yang ditimbulkan yaitu mengancam kalangan generasi muda misalnya retardasi kemampuan otak, ketergantungan psikis dan fisik. Tahun 1990, Perserikatan  Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan ada 180 juta orang di seluruh dunia sebagai  pengguna obat-obatan terlarang kurang lebih 4,2% umurnya di atas 15 tahun. Di  Indonesia terjadi peningkatan penyalahgunaan morfin dari 3,652 menjadi 5,008 selama periode 1997-1998. Di Bali juga terjadi peningkatan dari 256 menjadi 271 (Anonim, 2002). Peningkatan penyalahgunaan obat terlarang di Bali khususnya dan Indonesia umumnya, sudah mengancam kehidupan baik perorangan maupun masyarakat luas. 

Dalam mengembangkan metode analisis obat selalu diusahakan untuk memperoleh metode-metode yang sensitif, tepat, teliti, cepat, dan murah. Beberapa contoh metode analisis obat obatan antara lain adalah enzyme multiplied immunoassay (/EMIT), radio  immunoassay (RIA), thin layer chromatography (TLC), gas liquid chromatography  (GLC/GC),  high performance liquid chromatography (HPLC), dan gas chromatography-massspectrometr (/GC-MS) (WHO, 1988). Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan.  Beberapa senyawa narkotika tidak berhasil dipisahkan dengan kromatografi cair. Analisis morfin dengan kromatografi gas-cair seperti GC dan GC-MS dapat dilakukan dengan syarat senyawanya harus mudah menguap (volatile)  (Moffat,  2002). Ternyata juga bahwa deteksi senyawa-senyawa tersebut secara spektrofotometri tidak dapat dilakukan pada satu panjang gelombang yang sama. Untuk itu kromatografi lapis tipis (KLT) sangat memungkinkan untuk analisis kualitatif sekaligus analisis kuantitatif dengan spektrofotodensitometer. Disamping itu juga senyawa hasil analisis setelah dengan KLT maupun spektrofotodensitometer dapat di simpan, diulang untuk analisis selanjutnya dan juga untuk analisis beberapa sampel sekaligus. Oleh karena itu diperlukan perbandingan campuran larutan pengembang yang sesuai agar diperoleh  pemisahan yang optimum dalam  analisis dengan Kromatografi  lapis tipis sebelum  dengan spektrofotodensitometrI  
1. Zat Aktif Obat
Opium atau opium berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama Opium juga digunakan untuk opium, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opium tetapi tidak didapatkan dari opium. opium alami lain atau opium yang disintesis dari opium alami adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone (Dilaudid).
Morfin adalah alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium.Umumnya opium mengandung 10% morfin. Kata "morfin" berasal dari Morpheus, dewa mimpi dalam mitologi Yunani.
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan. Adapun gambar morfin bentuk tepung yaitu sebagai berikut :
 
2. Struktur dan Sifat Obat
Struktur yang tepat untuk alkaloid ini dikemukakan oleh Gulland dan Robinson pada tahun 1925. Zat tersebut adalah senyawa pentasiklik dengan atom dan cincin yang diberi nomor dan huruf seperti yang diperlihatkan di bawah ini ;
 

 Morfin mempunyai lima pusat asimetrik (karbon 5,6,9,13, dan 14), tetapi hanya 16 (8 pasangan rasemik diastereoisomer) dan bukan 32 (25) isomer yang mungkin, karena atom 10 dan 12 harus cis, jadi 1,3-diaksial, dibandingkan terhadap cincin piperidin (D). Stereokimia relatif pada kelima pusat itu direduksi secara tepat oleh Stork pada tahun 1952. Peristilahan klasik (misalnya morfin, kodein) digantikan oleh tatanama sistemik yang didasrkan pada inti morfinan dengan mempertahankan sistem penomoran fenantren. Jadi morfin sekarang disebut (Cemical Abstract) 17-metil-7,8-didehidro-4,5α-epoksimorfinan-3,6α-diol ; dimana α menunjukan orientasi trans terhadap jembatan 15, 16, 17 yang berhubungan dengan sistem cincin ABC.
Sintesis total morfin pertama kali dipaparkan oleh Gates dan Tsehudi (1952-1956) dan oleh Elad dan Ginsburg (1954). Hal ini menegaskan hipotesisRobinson-Stork. Beberapa sintesi lain yang baik menyusul tetapi tak satu pun sintesis total dapat bersaing secara dagang dengan hasil sumber alami. Pembuktian langsung tentang stereokimia relatif  pada karbon 5,6,9 dan 13 diberikan oleh Rapoport (1950-1953) perincian terakhir, C (14), diberikan pada tahun 1955 melalui telaah difraksi sinar-X Kristal tunggal tentang garam morfin yang dilaporkan oleh MacKay dan Hodgkin. Telaah ini memberika juga gambar konformasilengkap pertama untuk molekul morfin. Konfigurasi absolut ditetapkan pada tahun yang sama oleh Kalvoda dan rekan-rekannya melalui penguraiantebain secara kimia menjadi senyawa menjadi senyawa yang lebih sederhana yang konfigurasi absolutnya diketahui. Konfigurasi absolut untuk (-)-morfin yang terdapat di alam adalah seperti yang diperlihatkan. Citra cerminnya, (+)-morfin, tidak mempunyai aktivitas analgesic. Morfin dan semua senyawa sejenisnya yang aktif adalah basa organik (amin) dengan pKa yang berkisar antara kira-kira 8,5 sampai 9,5. Jadi, padapH fisiologis (7,4) sekitar 97 sampai 99 % terprotonasi. Basa bebas sangat sukar larut dalam air, tetapi pada umumnya, garamnya yang sangat baik larut dalam air. Basa yang tak terion yang ada dalam keseimbangan dengan membentuk (ion) yang terprotonasi dianggap sebagai jenis yang menembus hambatan lipoid darah otak. Secara luas diterima bahwa opium berinteraksi dengan reseptor dalam bentuk ion.
Sifat, reaksi morfin sebagai alkaloid bersifat basa karena mengandung gugus amin tersier (pKa ≈ 8,1) dan membentuk garam berbentuk Kristal dengan sederetan asam. Yang digunakan adalah garam hidroksida yang mengandung tiga molekul air Kristal ( morfin hidroksida pH, Eur). Berdasarkan gugus hidroksil fenolnya morfin juga bersifat asam ( pKa = 9,9) dan bereaksi dengan alkalihidroksida membentuk fenolat, tetapi tidak bereaksi dengan larutan ammonia. Titik isolistrik terletak pada pH 9. Morfin yang terdapat dalam alam memutar bidang polarisasi ke kiri.
3. Aturan Penggunaan dan Efek Obat
Morfin digunakan untuk menghambat nyeri yang paling kuat. Dosis analgetik pada penggunan yang diutamakan, yaitu subkutan, adalah 10 mg. pada dosis kecil sudah terjadi peredaan rangsang batuk melalui peredaman pusat batuk (kerja antitusif). Pusat respirasi juga dihambat (kerjadepresi pada respirasi). Hal ini terlihat dalam rentang dosis terapi dan pada dosis yang lebih tinggi, akhirnya menyebabkan kelumpuhan pernapasan. Efek selanjutnya, yang menyangkut SSP yaitu sedasi dan pada sebagian pasien euphoria. Bertalian erat dengan ini, ada kemungkinan untuk mengembangkan keterangan pada morfin (ketergantungan psikis dan fisik yang kuat, pengembangan toleransi dan dorongan untuk menaikkan dosis). Selain itu, morfin juga mempunyai sifat merangsang secra sentral. Hal ini merupakan hasil dari sergapan pada bagian sentral parasimpatikus dan antara lain diwujudkan sebagai miosis. Kerja stimulasi kerja dari analgetika jenis morfin, dapat diamati secara khas pada menchit, melalui penegakan ekor dalam bentuk S yang khas gejalan ekor dari straub. Termasuk sebagai kerja parifer morfin adalah peningkatan tonus otot polos, yang mengakibatkan obstipasi spastik. Sebaliknya, opium yang dapat digunakan untuk meredakan usus, menyebabkan obstipasi otonik karena mengandung papaverin.
Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan sakit. Efek samping morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Pasien morfin juga dilaporkan menderita insomnia dan mimpi buruk.
Dalam pengobatan klinis, morfin dianggap sebagai standar emas, atau patokan, dari analgesik digunakan untuk meringankan penderitaan berat atau sakit dan penderitaan . Seperti opium lain, misalnya oksikodon (OxyContin, Percocet, Percodan), hidromorfon (Dilaudid, Palladone), dan diacetylmorphine ( heroin ), morfin langsung mempengaruhi pada sistem saraf pusat (SSP) untuk meringankan rasa sakit . Morfin memiliki potensi tinggi untuk kecanduan , toleransi dan psikologis ketergantungan berkembang dengan cepat, meskipun Fisiologis ketergantungan mungkin membutuhkan beberapa bulan untuk berkembang.
Efek samping yang ditimbulkan ; Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena overdosis. 
4. Biotransformas
Biotransformasi morfin diekskresikan terutama dalam bentuk terkonyugasi. Yang dominan dalam hal ini yaitu 3-0-glukuronida. N-demetilasi kurang penting. Metabolit utama kodein ialah 6-0-glukuronida. Selain itu terjadi N- dan 0-demetilasi, dimana terbentuk norkodein dan morfin. Produk demitilasi sebagaian diekskresikan sebagai konyugat. Sintesis karena suatu sintesis total morfin dari segi teknis tidak memungkinkan, karena diarahkan pada penamaan papaver somniferum. Opium kasar yang diperoleh mengandung lebih kurang 7 sampai 21 % morfin, terutama sebagai mekonat (garam dari asam mekonat) atau sebagai laktat. Opium DAB 8 mengandung 10 % morfin, sedangkan tingtur opium DAB 8 mengandung 1 % morfin.

            MATERI DAN METODE
            Bahan 
            Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari asam fosfat, eter, amonia, kloroform, asam hidroklorida, etil asetat,isopropanol, toluena, metanol, natrium hidroksida, aseton, dan etanol. Baku morfin diperoleh dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM). Sampel simulasi dibuat dari urin yang ditambah 30 ng morfin 5g/mL.

            Peralatan  
            Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
alat-alat gelas, timbangan analitik (Chyo MP 3000), micro syringe 100 mL, Camag linomat  IV, pH-meter (Hanna), Spektrofotodensitometer Shimadzu dual- wavelength  chromatogram scanning model CS-9000), Sonikator (Bronson 1200), oven (Fisher Vacum Oven), Sentrifuga (Janetski TS) dan Autoclave (Hirayana).  
Cara Kerja
            Larutan baku morfin 5 g/mL, dibuat dengan cara menimbang 0,5656 g morfin hidroklorida dilarutkan dengan aquades sampai 100,0 mL. Selanjutnya larutan morfin 5 g/mL, ditotolkan berturut- turut 4,8,12,16,20, 24 dan 28 L pada pelat kromatografi lapis tipis silica gel GF 254siap pakai. Sehingga diperoleh jumlah penotolan larutan morfin berturut-turut  20, 40, 60, 80, 100, 120, dan 140 ng. Selanjutnya pelat dikembangkan ke dalam bejana yang telah dijenuhkan dengan campuran larutan pengembang toluene-aseton-etanol-amonia dengan perbandingan 45 : 45 : 7 : 3. Saat  pengembang telah mencapai tanda batas pelat diangkat dan dikeringkan. Bercak diamati  dengan spektrofotodensitometer. Masing-masing noda diukur luasnya dengan  spektrofoto-densitometer pada panjang gelombang maksimum (maks) 287 nm (Moffat,  2002;Rokus, 1992).
            Setelah sampel urin simulasi diekstraksi dengan pelarut terpilih, selanjutnya dianalisis dengan KLT-spektrofotodensitometer. 

HASIL DAN PEMBAHASAN
            Campuran larutan pengembang yang dicoba adalah kloroform-metanol (9:1), etil asetat-metanol ammonia (85:10:5), dan toluena-aseton-etanol-amonia ( 45:45:7:3 ). Pelarut untuk ekstraksi sampel urin simulasi yang telah dilakukan adalah etil asetat-isopropanol  (9:1),  kloroform-isopropanol (3:1), dan kloroform.
            Larutan pengembang dipilih toluene : aseton : etanol:amonia dan pelarut pengekstraksi dipilih etilasetat-isopropanol ke dalam 5 mL sample urin ditambahkan asam  fosfat sampai pH 3, kemudian diekstraksi dengan 2x15 mL eter. Ke dalam lapisan air ditambahkan ammonia sampai pH 8 dan diekstraksi dengan 2x5 mL kloroform. Lapisan air  berikutnya ditambah asam klorida pekat sampai pH 3, kemudian dipanaskan 100°C selama 30 menit. Setelah larutan didinginkan kemudian diekstraksi kembali dengan 2x5 mL eter.  Lapisan  air hasil ekstraksi ditambah NaOH sampai pH 9, lalu diekstraksi dengan etilasetat-isopropanol (9:1). Lapisan organik hasil ekstraksi diuapkan sampai kering kemudian ditambah 5 mL metanol. 
            Kurva kalibrasi ditentukan dengan perhitungan luas puncak yang dihasilkan dari  penotolan baku morfin dengan konsentrasi 5 g/mL pada satu seri jumlah baku morfin  20,40,60,80,100,120, dan 140 ng pada panjang gelombang maksimum 287 nm.  Data luas puncak baku morfin adalah seperti ditunjukkan dalam Tabel 1 berikut ini.


label  1.  Data jumlah yang ditotolkan versus Luas puncak morfin 

Grafik hubungan jumlah morfin yang ditotolkan versus luas puncak  morfin sebagai berikut:
Berdasarkan perhitungan diperoleh persamaan garis regresi y = -69,21 + 8,06 x, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,992. yang diperoleh dari metode ekstraksi morfin dalam sampel urin yang optimum dengan etilasetat-isopropanol. Penggunaan kloroform untuk mengekstraksi morfin ternyata kurang baik, mengingat kelarutan etilasetat dalam air adalah 1: 15 sedangkan kelarutan kloroform dalam air adalah 1: 200 (Lowry, 1979)  . Berdasarkan sifat kelarutan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa etilasetat bersifat  lebih polar dibandingkan kloroform atau lebih tepatnya bersifat semi polar. Demikian juga  dengan penambahan isopropanol (9:1) pada etil asetat dapat menarik larutan tersebut ke  arah polar ternyata menjadikan morfin yang berada pada keadaan isoelektrik menjadi  lebih banyak tertarik ke dalam fase organik tersebut.
Batas deteksi yang dihitung secara statistik pada taraf 95 % tidak berbeda nyata dan dapat diterima. Berdasarkan perhitungan ternyata bahwa morfin mempunyai batas  deteksi 18,02 ng, sedangkan berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh batas deteksi sebesar 15 ng.  erolehan batas deteksi baik secara perhitungan maupun percobaan adalah valid, sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada literatur (Moffat, 2002). Literatur menunjukkan bahwa batasdeteksi untuk KLT yang dianalisis dengan spektrofotodensitometer dengan system absorbansi berada pada rentang 10-100 ng. Perolehan pengukuran dengan spektrofoto-densitometer yang digunakan masih memiliki sensitivitas baik terbukti dapat menghasilkan suatu pengukuran yang valid. Perbedaan hasil pengukuran alat dengan perhitungan tidaklah terlalu besar mengingat perbedaan dalam skala nanogram.
Persentase perolehan kembali kadar morfin dalam urin simulasi adalah 92,31 ; 93,14 ; dan 89,68 % dengan simpangan baku dan koefisien variasi masing-masing sebesar 2,55 dan 2,78 

BAB II
PENUTUP
kesimpulan
           
            Simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelarut  pengembang yang sesuai untuk morfin adalah toluena:aseton:etanol:amonia dengan perbandingan 45:45:7:3 dan panjang gelombang maksimum adalah 287 nm.Persamaan  garis regresi morfin diperoleh y = -69,21 + 8,06x dengan r = 0,992 dengan jumlah morfin yang ditotolkan secara seri 20,40,60,80,100,  dan 120 ng. Batas deteksi adalah 18,02 ng dan perolehan kembali morfin sebesar 90,91 %.

Saran
            Lebih lanjut, perlu dilakukan penelitian tentang sampel urin dalam morfin dan  turunannya untuk memperoleh pemisahan yang optimum.

DAFTAR PUSTAKA
ü  Anonim, 2002, Data Pasien NAPZA di Propinsi Bali, Departemen Kesehatan  Denpasar.
ü  Lowry, W.T. and Garriot,  J.C.,  1979, Forensic Toxicology Controlled Substances and Dangerous Drugs, New York; Plenum Press, 302-303.
ü  Moffat, A.C., 2002, Clark’s Isolation  and Identification of Drugs in Pharmaceuticals,  Body Fluids and Post Mortem Material, London: The Pharmaceutical Press, 2nd., 10,11,167
ü  Sujudi, Adhyatma, Slamet Susilo, dan Wisnu Katim, 1995, Farmakope Indonesia,    Edisi IV Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
WHO, 1988, The International Pharmacopoeia, 3thEd., 3, Geneva




{ 1 komentar... read them below or add one }

- Copyright © 2013 OPEN HOUSE Analis Kesehatan Ori by Info Teck - Powered by Blogger - Design by Galank -